Saterdag 08 Junie 2013

orang-orang yang takwa

ذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
[(Orang bertaqwa ialah) orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan dari sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepadanya, mereka infaqkan.]

1). Penggunaan kata الَّذِينَ (alladzyna)—isim maushuwl (kata benda penyambung)—di awal ayat, menunjukkan bahwa ayat ini merupakan deskripsi terhadap kata benda yang ada di akhir ayat sebelumnya (yaitu orang bertaqwa). Maka, menurut ayat ini, diantara kualitas orang bertaqwa ialah: Pertama, mengimani adanya alam ghaib. (Dengan catatan, dunia ghaib di sini bukan dalam persepsi budaya masyarakat). “Iman” satu asal kata dengan “aman”. Sehingga orang yang mengimani sesuatu adalah orang yang pada dasarnya telah merasa aman (dengan qalbunya) terhadap sesuatu tersebut. Dengan qalbu, karena beriman tidak cukup dengan lisan. “Orang Arab (Badui) berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kalian belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah menyerah', (karena) iman itu belum masuk ke dalam qalbu mu’.” (49:14) Dengan demikian, iman bisa dikatakan sebagai “the submission of thoughts and feelings to the object of belief” (ketundukan pikiran dan perasaan terhadap obyek yang diimani). Karena bertempat di qalbu, maka iman memiliki tenaga pendorong untuk bertindak. Sehingga pengakuan iman menjadi tak bermakna apabila pemilik pengakuan itu tidak terdorong melakukan apa yang diimaninya 2). Di Surat al-Fatihah ayat 2, telah dibahas bahwa alam itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan paling bawah adalah alam material, alam indra. Alam di atasnya semua bersifat ghaib karena tidak bisa lagi dijangkau oleh panca indra. Itu sebabnya al-Qur’an cuma membagi realitas menjadi dua bagian: alam ghaib dan alam syhadah (6:73, 13:9, 23:92, 32:6, 39:46, 59:22, 64:18). Tetapi pembagian ini tidak dikotomis dan diskontinyu. Karena apa yang disebut alam syahadah (alam nyata) hanyalah bentuk ‘penampakan’ dari alam ghaib. Semua yang tercerap oleh indra di alam syahadah tiada lain dari ‘isyarat’ (ayat) adanya aktivitas di alam ghaib. Jadi alam ghaib dulu baru ada alam syahadah—cermati sejumlah ayat yang disebut barusan, kata syahadah tidak pernah mendahului kata ghaib. “Dan milik Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situ (adalah) wajah Allah...” (2:115).Hal-hal ghaib yang sering disebut-sebut dalam al-Qur’an: Allah, arasy, amr, qodla, qodar, ruh, malikat, jin, Kitab Suci, para rasul, barzah, hari akhirat, sorga-neraka, dsb. Masing-masing dari mereka memiliki rahasianya, yang tak bisa diungkap kecuali dengan sulthan atau ilmu (55:33). 2). Di Surat al-Fatihah ayat 2, telah dibahas bahwa alam itu bertingkat-tingkat, dan tingkatan paling bawah adalah alam material, alam indra. Alam di atasnya semua bersifat ghaib karena tidak bisa lagi dijangkau oleh panca indra. Itu sebabnya al-Qur’an cuma membagi realitas menjadi dua bagian: alam ghaib dan alam syhadah (6:73, 13:9, 23:92, 32:6, 39:46, 59:22, 64:18). Tetapi pembagian ini tidak dikotomis dan diskontinyu. Karena apa yang disebut alam syahadah (alam nyata) hanyalah bentuk ‘penampakan’ dari alam ghaib. Semua yang tercerap oleh indra di alam syahadah tiada lain dari ‘isyarat’ (ayat) adanya aktivitas di alam ghaib. Jadi alam ghaib dulu baru ada alam syahadah—cermati sejumlah ayat yang disebut barusan, kata syahadah tidak pernah mendahului kata ghaib. “Dan milik Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situ (adalah) wajah Allah...” (2:115).Hal-hal ghaib yang sering disebut-sebut dalam al-Qur’an: Allah, arasy, amr, qodla, qodar, ruh, malikat, jin, Kitab Suci, para rasul, barzah, hari akhirat, sorga-neraka, dsb. Masing-masing dari mereka memiliki rahasianya, yang tak bisa diungkap kecuali dengan sulthan atau ilmu (55:33).
wa mim-mārazaqnāhum yunfiquwn:qwa selanjutnya: وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ Ketiga, kualitas taqwa selanjutnya dan dari sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepadanya, mereka infaqkan). Pertanyaannya: kenapa manusia diperintahkan untuk berinfaq; bukankah harta yang mereka peroleh adalah hasil jerih payah mereka sendiri? Ada benarnya. Karena manusia pada ghalibnya hanyalah bekerja untuk mengambil dan melestarikan apa yang sudah ada. Nelayan, tinggal pergi memancing, bukan mereka yang menebar benih dan memeliharanya. Oil Company, tinggal pergi mengebor minyak dan gas, bukan mereka yang memendamnya di perut bumi selama jutaan tahun. Peternak, mereka tinggal melestarikan hewan piaraannya, bukan mereka yang menciptakannya dari awal. Artinya, pada sebagian pendapatan kita ada yang ternyata bukan hasil jerih payah kita, tapi semata dari Allah. Maka, dengan begitu, Allah punya hak pada setiap jenis pendapatan kita. Berapa jumlahnya? Karena ini infaq (bukan zakat), maka tergantung pada “kedalaman” (depth) penghayatan kita terhadap seluruh realitas

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking