Donderdag 06 Junie 2013

BAB II
PEMBAHASAN
   
A.Pengertian Ijma’
     * Menurut bahasa ijma’ terbagi menjadi 2 arti yaitu:
1.Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 71:
Artinya:
     “Dan bacakanlah kepada mereka tentang Nuh diwaktu dia berkata kepada kaumnya,”hai kaumku, jika terasa barat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah , maka kepada Allahlah aku bertawakkal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakannya).kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”
                                        (QS.Yunus : 71)

Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh.Dan hadits Rasulullah SAW.yang artinya,”Barang siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
2.Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah berijtima’ bila mereka bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 15 yang menerangkan keadaan saudara-saudara Yunus a.s. :
Artinya:
   “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya kedasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (diwaktu dia sudah ada didalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tidak ingat lagi, “(QS.Yunus : 15)

    Adapun perbedaan antara kedua hadits tersebut adalah : yang pertama bias dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.

    *Ijma’ Menurut Istilah Ulama Ushul
    Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefenisika ijma’ menurut istilah, diantaranya :
1.Pengarang kitab Fushulul Bada’i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Muhammad SAW. Dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hokum syara’ .
2.Pengarang kitab Tahrir, Al-Kalam bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. Terhadap masalah syara’ . (Al-Ghifar)

B.Syarat-syarat Ijma’
    Dari defenisi ijma’ diatas dapat diketahui bahwa ijma’itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria dibawah ini :
1.Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
    Para ulama berselisih paham tentang ietilah mujtahid, secara umum mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil sayra’.Dalam kitab Jam’ul Jawami disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orng yang faqih. Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan istilah ulama ijma’ , sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
    Selain pendapat diatas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat Al-Wadih dalam kitab Isbat bahwa mujtahid yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-halli wal aqdi.
    Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang islam yang balig, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya.
    Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu pula penolakan mereka.karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’.
    Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat mujtahid, tidak akan terjadi ijma’.Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itupun tidak bisa dikatakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang sepakat dengan dirinya.Dengan demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma’ bila dilakukan oleh tiga orang atau lebih.Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama berbeda pendapat.Ada yang menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dikatakan ijma’.Akan tetapi, menurut jumhur ulama hal itu termasuk ijma’, karena mewakili kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa itu.
2.Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
    Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, eskipun sedikit, maka menurut jumhur hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
    Sebagian ulama berpendapat bahwa ijma’ itu sah bisa dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka, begitu pula menurut kaidah fiqh sebagian besar itu telah mencakup hukum kesuluruhan.
    Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma’. Kerena kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil shahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum.Dan jarang terjadi kelompok kecil yang tidak sepakat dapat mengalahkan kelompok besar.
3.Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW.
    Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW.Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW adalah orang-orang mukallaf dari golongan ahl Al-aqdi, ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang mukallaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas arti mukallaf adalah muslim, berakal, dan telah baligh.
    Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma’.Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
4.Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
    Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.
5.Kesepakatan Mereka Harus Berhubungan dengan Syari’at
    Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunnah, makruh, haram, dan lain-lain.
    Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa kesepakatan tersebut dikhususkan kepada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan pendapat Al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat, Safiudin dalam Qawaidul usul, Kamal bin Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain-lain.
    Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya sebagai syarat ijma’.Sedangkan Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam’ul Jawami’ mengartikan zaman dalam defenisi ijma’ diatas dengan zaman mana saja.


C. Macam-macam Ijma’
    Macam-macam ijma’ bila dilihat dari caraterjadinya ada dua macam yaitu:
1.ijma’ Sharih
    Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.    
    Hal itu terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu termpat, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui ketetapan hukumnya.Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
    Selain itu, bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu, mujtahid kedua berfatwa seperti fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah difatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga semua mujtahid menyepakati pendapat tersebut.
2.ijma’ Sukuti
•        Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam, tidak menyepadilakukan oleh sebagian mujtahid maka tidak dikatakan ijma’ sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’.
•    Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya. Namun, perlu diingat bahwa tidak mungkin menentukan lamanya waktu bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya, karena setiap mujtahid memerlukan waktu yang berbada, cepat atau lambat dalam memerlukan fatwanya.
•    Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalan ijtihadi, yanh bersumber dalil-dalil yang bersifat zhanni. Adapun tentang permasalah Yng tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumberkan dalil-dalil qath’I, apabila seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat sedangkan yang lainnya diam, hal ini tidak bisa disebut ijma’. Karena diamnya mereka tidak bisa dikatakan menyepakati, melainkan meremehkan pemberi fatwa tersebut Karen ilmunya masih dangkal.
D. Bentuk-Bentuk Ijma’
1.ijma’ qath’I yaitu ijma’ sharih dengan pengertian bahwa hukum itu diqath’ikan olehnya. Tidak         ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa dengan adanya khilaf (perbedaan pendapat).
2.ijma’ dzanni, yang menunjukkan atas hukumnya, yaitu ijma’ dzanni dengan pengertian hukumnya itu masih diragukan.
E. Kedudukan Ijma’
    Mungkin adanya ijma’ dan mungkin pula diketahui serta mungkin dipindahkan, tetapi tidak mungkin ijma’ itu dijadikan hujjah (alas an) dalam menetapkan hukum, karena yang menjadi alasan adalah kitab dan sunnah atau ijma’ yang didasarkan kepada kitab dan sunnah, justru itu mereka katakana ijma’ tidaklah termasuk adil yang bisa berdiri sendiri.
F.Rukun Ijma’
    Rukun ijma’ menurut jumhur ulama ada lima :
1.Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila diantara mujtahid yang tidak setuju sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dapat dinamakan hukum ijma’.
2.Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia islam.
3.Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4.Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
5.Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah SAW.
G.Sendi-sendi Ijma’
    Sendi-sendi ijma’ menurut defenisi diatas menunjukkan bahwa ia hasil kodifikasi pendapat mujtahid satu dengan pendapat mujtahid yang lainnya yang sesuai. Maka dari itu dapat dipahami bahwa sendi ijma’ yang menjadi syarat terbentuknya ijma’ ada empat yaitu :
•    Bahwa jarangnya penentang pendapat mempengaruhi terwujudnya ijma’, karena pengertian kesepakatan belum terwujud, hanya saja banyak ahli hukum berhujjah dengan pendapat mayoritas jika jarang terdapat penentang mereka.
•    Bahwa andai kata tidak terdapat dalam suatu masa kecuali seoarang mujtahid yang mempunyai pendapat dalam suatu perkara tidaklah pendapat itu dianggap ijma’, karena kesepakatan tidak terwujud pengertiannya dan juga bukan merupakan hujjah, karena bilamana tidak ada sifat ijma’ darinya ia pun menjadi pendapat tunggal dari mujtahid dan kemungkinan terjadi kesalahan, maka perkataannya bukanlah hujjah.
•    Pendapat itu haruslah satu dan menjadi kesepakatan. Maka andaikan umat suatu masa terpecah menjadi dua pihak, yang satu mengemukakan satu pendapat dan yang kedua mempunyai pendapat lain dalam suatu hukum, apakah ini dianggap ijma’ dari meraka.sedangkan dalam masa itu hanya ada salah satu dari kedua pendapat ini sehingga tidak boleh bagi orang sesudah mereka untuk mengemukakan pendapat ketiga ataukah ia tidak dianggap ijma’? sebagian besar ulama tidak boleh mengemukakan pendapat ketiga dan sebagian kecil mengatakan boleh.
•    Seandainya tampak kesepakatan dengan mengemukakan pendapat sehingga diketahui dan nyata bahwa ia adalah kesepakatan. Adapun bila didiamkan dengan cara sebagian mujtahid memberikan fatwa dengan suatu hukum atas suatu masalah atau memutuskan hukumsuatu perkara atas dirinya sendiri sementara mujtahid lainnya berdiam diri dan tidak menyangkalnya, maka hal ini dikategirikan ijma’ atau tidak? Apabila hal tersebut terjadi maka hal itu dinamakan ijma’ sukuti.
BAB III
PENUTUP


A.Kesimpulan
    ijma’ menurt lughot yaitu keinginan kuat atau bulat, pengerti etimilogi dari ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.
    Perbedaan antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati.Pengertian pertama mencukupkan satu tekad aja, sedangkan untuk pengertian yang kedua memerlukan tekad kelompok.
    Secara terminilogi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, Ibrahim ibn Siyar Al-Nazzam seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan setiap pendapat yang didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang , akan tetapi rumusan Al-Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi diatas.

B.Saran
    Agar dapat menjadikan pegangan dasar hukum ke tiga dalam merumuskan suatu hukum syara’ dari pengetahuan mengenai ijma’ ini kita dapat memahami suatu hukum yang belum tertulis jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits.
    Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja semua itu karena kelemahan kami dan keterbatasan pengetahuan kami, mohon kiranya kritik dan saran dalam menyempurnakan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi kami tim penyusun atau pun temen-teman sekalian.

DAFTAR PUSTAKA

1.Syafe’I,Rachmat.2010.Ilmu ushul fiqh.Bandung:CV PUSTAKA SETIA
2.Khallaf,Syekh Abdul Wahab.2005.ilmu ushul fiqh.Jakarta:PT Rineka Cipta
3.Biek,Syaikh Muhammad Al-kudhari.2007.fiqh dan ushul fiqh.Jakarta:Pustaka Amani











Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking