Donderdag 06 Junie 2013

makala monopoli dan menimbun

LARANGAN MONOPOLI DAN MENIMBUN
A.    Pengertian monopoli
al Ihtikar الاحتكار berasal dari kata يحكر-حكرا- حكر yang berarti aniaya, sedangkan   الحكر  berarti  ادخار الطعام ( menyimpan makanan, dan kata الحكرة berarti الجمع و الإمساك ( mengumpulkan dan menahan ) .
Para ulama mendefenisikan ihtikar sebagai berikut  :
1.    Ulama mazhab Maliki mendefenisikan dengan ;
  الإدخار للمبيع   من جميع الأشياء من الطعام و اللباس وكل ما أضر بالسوق 
Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar.
2.    Ulama mazhab Hanafi mendefenisikan dengan;
حبس الأقوات متربصا للغلاء
Menimbun bahan makanan pokok sambil menunggu harganya menjadi  naik
3.    Ulama Syafiiyah sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili  mendefenisikan
امساك ما اشتراه وقت الغلاء ليبيعه بأكثر  مما اشتراه عند اشتداد الحاجة
Menahan sesuatu yang dibeli pada waktu mahal supaya bisa dijual dengan harga yang lebih dari waktu membeli karena orang sangat membutuhkan. 
4.    Fathi ad Duraini mendefenisikan ihtikar yaitu :
حبس مال أو منفعة أو عمل والإمتناع عن بيعه أو بذله حتى يغلو سعره غلاء فاحشا غير معتاد بسبب قتله أو انعدام وجوده فى مظانه مع شدة حاجة الناس أو الدولة أو الحيوان له.

Tindakan  menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar  yaitu:
    Membeli barang ketika harga mahal.
    menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
    Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
    Penimbun menjual barang yang di tahannya  ketika harga telah melonjak.
    Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.

Ulama berbeda pendapat mengenai jenis barang yang di timbun, yaitu :
    Ulama Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf dan Ibn Abidin ( pakar fiqh Hanafi) menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ilat ( motifasi hukum ) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah “ kemudharatan yang menimpa orang banyak”. Oleh sebab itu kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang diperlukan orang banyak.
    Imam asy Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan sehingga  seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir jika  barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan imam Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar  berada dalam keadaan normal ( pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil.
    Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al Ghazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis produk makanan saja. Alasan mereka karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. 
    Ulama Syafiiyyah dan Hanafiyah membatasi ihtikar pada komoditi yang berupa makanan bagi manusia dan hewan.
    Ihtikar menurut Fathi ad Duraini, tidak saja menyangkut komoditas, tetapi juga manfaat serta komoditas dan bahkan jasa dari pemberi jasa dengan syarat, embargo yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini dapat membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas manfaat atau jasa tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat, Negara dan lain-lain.
Umpamanya, pedagang gula pasir dan terigu pada awal bulan Ramadhan tidak mau menggelar dagangannya, karena mengetahui minggu terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula dan terigu untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula pasir dan terigu di pasar, harga jualnya akan naik. Ketika itu para pedagang menjual gula dan terigunya sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Demikian juga halnya dengan barang-barang yang lain terutama keperluan Sembilan bahan pokok.



B.    Permasalah monopoli
    Di antara kebiasaan masyarakat Arab adalah berdagang ke negeri tetangga .Dari Mekah ,mereka membawa barang –barang hasil pekerjaan penduduk Mekah untuk dijual ke negeri lain dan pulangnya mereka membawa barang-barang dari negeri lain yang sangat diperlikan oleh penduduk Mekah atau kota –kota lainnya di Arab .Ada juga pedagang asing yang sengaja datang ke Mekah atau kota –kota lainnya di Arab untuk memperdagangkan barang –barang mereka kepada penduduk Mekah.Biasanya para pedagang tersebut berangkat bersama –sama dalam suatu rombongan besar yang disebut kalifah .
   
c. LARANGAN TERHADAP TENGKULAK ( BM : 1412)





1.    Terjemah Hadis :
Dari Thawus dari Ibnu Abbas ia berkata , “Telah bersabda Rasullah SAW ,” janganlah kamu mencegat kalifah –kalifah dan janganlah orang kota menjualkan buat orang desa . “Saya bertanyak kepada Ibnu Abbas , “ Apa arti sabdanya , “Janganlah kamu mencegat kalifah –kalifah dan janganlah orang kota menjualkan buat orang desa . “ ia menjawab , “Artinya janglah ia menjadi perantara bagianya .”
(Muttafaq alaih ,tetapi lafazh tersebut dari Bukhari )

2.    Tinjauan Bahasa
Mencegat ,Maksudnya pergi menjempai
Kalifah sebelum mereka sampai di kota dan sebelum
Mereka mengetahui harga pasar .

Para pedagang yang biasanya ,
Menunggu unta dan sering disebut kalifah

Makelar ,

Penduduk setempat

3.    Biografi perawi
1.    Thawus bin kaisan Al-yamany Al- Hamiry Al-Jundi
   Ia adalah maula Bahir Ibn Risan dan dikatakan pula sebagai maula Hamdan .ia banyak meriwayatkan hadis dari Al- Ubadalah Al- Arba’ah ,Zaid Ibn Tsabit Aisyah ,Abu Hurairah ,dan lain-lain .
  
    Ia berkata , “ saya duduk bersama 50 orang sahabat .” ia dikenal sebagai orang alim yang dalam ilmunya dan menguasai makna Al- Quran .Hal itu karena dia sangat rajin bertanyak kepada para sahabat ,terutama Ibnu Abbas dan ia tercatat sebagai salah seorang murid Ibn Abbas .

   Ia juga dikenal sebagai orang yang wara dan terpercaya sehingga Ibnu Abbas pernah berkata “ saya kira ,Thawus adalah ahli surga.” Begitu pula Amr Ibn Dinar berkata “ saya tidak melihat seorang pun seperti Thawus .”

    Ashhabu AL-Kutub As-Sunnah telah banyak meriwayatkan hadis darinya .Ibnu Hibban berkata “ Dia termasuk pembesar yaman dan tokoh tabi’in dan orang yang doanya sering dikabulkan ,serta telah menunaikan ibadah haji sebanyak 40 kali.

    Amir bin Dinar berkata , Qais bin Sa’id berkata “ keadaan Thawus di kalangan kamiseperti Ibn Sirin di kalangan Bashrah .” Adz-Zahaby berkata , “ Thawus bagi mereka .ia mempunyai kemuliaan besar dan sering melakukan ibadah haji .”

Disepakati bahwa Thawus meninggal di mekah pada tahun 106 H .
2.    Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Al-Muthalib Al- Madani Ath-Thaifi Al-Hasyimi
    Ibn Abbas dikenal sebagai seorang sahabat yang luas ilmunya .Rasullah SAW ,sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Umar ,menyatakan Ibn Abbas sebagai tinta dan lautan karena kedalaman ilmunya .

    Ia menerima hadis dari Rasullah SAW ,dari ayat dan ibuknya (ummu Al-fadhl ),saudaranya (Al-fadhl) bibinya (Maimunah),Abu Bakar ,Umar,Utsman ,Ali ,Abd .Ar-Rahman Ibn Auf ,Mu’adz bin jabal,Abu Dzar,Ubay Ibn Ka’ab,Tamim Ad-Dary,Khalid Ibn Al-walid ,Usman Ibn Zaid ,Haml Ibn Malik,Abu Sa’id Al-Khudri,Abu Hurairah,Muawiyah Ibn Abu Sufyan ,Aisyah ,dan jamaahnya.
     Orang-orang yang menerima riwayat darinya adalah anaknya (Ali dan Muhammad),cucunya (Muhammad Ibn Ali),saudaranya (Katsir Ibn Abbas) ,anak saudaranya yang lain (Abdullah Ibn Ma’bad Ibn Abbas ) ,Abdullah Ibn umar Al-Khththab,Tsa”Iabah Ibn Hakam,Al-Laitsi,Al-Miswar Ibn Mahramah,Abu Thufail,dan lain-lain.
    Nabi SAW .telah mendoakannya dengan hikmah sebanyak dua kali Ibn Mas’ud berkata , “sebaik-baiknya penerjemahan Al-Quran adalah Ibn Abbas . :Sa’id Ibn Abi Zubair yang bersumber dari Ibn Abbas telah meriwayatkan bahwa ia berkata “ Rasullah SAW . telah memegangku pada saat aku berusia 13 tahun ,dikatakan pula pada saat aku 10 tahun ,atau dikatakan pula pada saat aku 15 tahun . “  Ahmad Ibn Hanbal membenarkannya . Abu Nu’aim berkata pada bagian lainnya ,ia meninggal pada tahun 68 H . Muhammad Ibn Al- Hanafiyah menyalati jenajahnya. Ia meninggal di Tha’if ,dan dikatakan pula bahwa ia meninggal tahun 69 atau 70 H. II.    Pembahasan
a.    Pengertian Ihtikar
al Ihtikar الاحتكار berasal dari kata يحكر-حكرا- حكر yang berarti aniaya, sedangkan   الحكر  berarti  ادخار الطعام ( menyimpan makanan, dan kata الحكرة berarti الجمع و الإمساك ( mengumpulkan dan menahan ) .
Para ulama mendefenisikan ihtikar sebagai berikut  :
1.    Ulama mazhab Maliki mendefenisikan dengan ;
  الإدخار للمبيع   من جميع الأشياء من الطعام و اللباس وكل ما أضر بالسوق 
Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar.
2.    Ulama mazhab Hanafi mendefenisikan dengan;
حبس الأقوات متربصا للغلاء
Menimbun bahan makanan pokok sambil menunggu harganya menjadi  naik
3.    Ulama Syafiiyah sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili  mendefenisikan
امساك ما اشتراه وقت الغلاء ليبيعه بأكثر  مما اشتراه عند اشتداد الحاجة
Menahan sesuatu yang dibeli pada waktu mahal supaya bisa dijual dengan harga yang lebih dari waktu membeli karena orang sangat membutuhkan. 
4.    Fathi ad Duraini mendefenisikan ihtikar yaitu :
حبس مال أو منفعة أو عمل والإمتناع عن بيعه أو بذله حتى يغلو سعره غلاء فاحشا غير معتاد بسبب قتله أو انعدام وجوده فى مظانه مع شدة حاجة الناس أو الدولة أو الحيوان له.

Tindakan  menyimpan harta, manfaat atau jasa dan enggan menjual dan memberikannya kepada orang lain, yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sedangkan masyarakat, Negara atau pun hewan memerlukan produk, manfaat atau jasa tersebut.
Secara esensi definisi di atas sama, dan dapat difahami bahwa iktikar  yaitu:
    Membeli barang ketika harga mahal.
    menyimpan barang tersebut sehingga kurang persediaannya di pasar.
    Kurangnya persediaan barang membuat permintaan naik dan harga juga naik.
    Penimbun menjual barang yang di tahannya  ketika harga telah melonjak.
    Penimbunan barang menyebabkan rusaknya mekanisme pasar.

Ulama berbeda pendapat mengenai jenis barang yang di timbun, yaitu :
    Ulama Malikiyah, sebagian ulama Hanabilah, Abu Yusuf dan Ibn Abidin ( pakar fiqh Hanafi) menyatakan bahwa larangan ihtikar tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang diperlukan masyarakat. Menurut mereka, yang menjadi ilat ( motifasi hukum ) dalam larangan melakukan ihtikar itu adalah “ kemudharatan yang menimpa orang banyak”. Oleh sebab itu kemudharatan yang menimpa orang banyak tidak terbatas pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang diperlukan orang banyak.
    Imam asy Syaukani tidak merinci produk apa saja yang disimpan sehingga  seseorang dapat dikatakan sebagai muhtakir jika  barang itu untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan imam Syaukani tidak membedakan apakah penimbunan itu terjadi ketika pasar  berada dalam keadaan normal ( pasar stabil), ataupun dalam keadaan pasar tidak stabil.
    Sebagian ulama Hanabilah dan Imam al Ghazali mengkhususkan keharaman ihtikar pada jenis produk makanan saja. Alasan mereka karena yang dilarang dalam nash hanyalah makanan. 
    Ulama Syafiiyyah dan Hanafiyah membatasi ihtikar pada komoditi yang berupa makanan bagi manusia dan hewan.
    Ihtikar menurut Fathi ad Duraini, tidak saja menyangkut komoditas, tetapi juga manfaat serta komoditas dan bahkan jasa dari pemberi jasa dengan syarat, embargo yang dilakukan para pedagang dan pemberi jasa ini dapat membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas manfaat atau jasa tersebut sangat diperlukan oleh masyarakat, Negara dan lain-lain.
Umpamanya, pedagang gula pasir dan terigu pada awal bulan Ramadhan tidak mau menggelar dagangannya, karena mengetahui minggu terakhir bulan Ramadhan masyarakat sangat membutuhkan gula dan terigu untuk menghadapi lebaran. Dengan menipisnya stok gula pasir dan terigu di pasar, harga jualnya akan naik. Ketika itu para pedagang menjual gula dan terigunya sehingga mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Demikian juga halnya dengan barang-barang yang lain terutama keperluan Sembilan bahan pokok.



b.     Dasar Hukum Pelarangan Ihtikar
Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al Qur’an yang menyatakan  bawa setiap perbuatan aniaya, terrnasuk didalamnya ihtikar diharamkan oleh agama Islam.
Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah:

            
….Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…(al Maidah : 2 )

               •     
Maka jika kamu tidak mengerjakan ( meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul –Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat , maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya.( al Baqarah: 279)
       
….Dan Dia tidak  sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan ( al Hajj: 78)
       
Allah tidak menginginkan kesulitan apapun bagi kamu ( almaidah:6)



Disamping ayat-ayat diatas disebutkan juga dalam Sunnah Rasulullah

    حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عَمْرٍو الأَشْعَثِىُّ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلاَنَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ »
Menceritakan akan kami Said bin Amr Asy’atsiy, mencritakan Hatim bin Ismail dari Muhamad bin ‘Ajlan dari Muhamad bin Amr bin Atha dari Said bin Musayyab dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah saw, “Tidak ada orang yang menimbun barang kecuali orang yang durhaka ( salah)” HR.Muslim

Kata bersalah disini bukanlah kata yang boleh dianggap enteng. Sebab kata itu dipakai al Qur’an untuk mengindentifikasi orang-orang yang durhaka dan congkak, seperti Firaun, Haman dan para kaki tangannya. Allah swt berfirman:
         
Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentara-tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. ( al Qashas: 8)
An Nawawi berkata  dalam Syarh Shahih Muslim “Hadits diatas dengan jelas menunjukkan haramnya ihtikar. Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam madzhab kami“.

    حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْحَنَفِىُّ حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنِى أَبُو يَحْيَى الْمَكِّىُّ عَنْ فَرُّوخَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامَهُمْ ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالإِفْلاَسِ ».

 Dari Umar bin Khatab, ia berkata” aku mendengar Rasulullah saw bersabda , barangsiapa menimbun makanan dari orang-orang Muslim,maka Allah membalasnya dengan penyakit kusta dan kebangkrutan.

    وَعَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { مَنْ دَخَلَ فِي شَيْءٍ مِنْ أَسْعَارِ الْمُسْلِمِينَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُقْعِدَهُ بِعُظْمٍ مِنْ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ }

Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar: “Barang siapa mempengaruhi harga pasar di kalangan muslimin sehingga menjadi mahal, niscaya Allah menempatkannya di tengah-tengah jilatan api neraka pada hari kiamat.”

Hadis  yang diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar RA, sahabat Rasulullah saw, ketika sedang menderita sakit keras, ia didatangi oleh Ubaidillah  bin Ziyad ( salah seorang gubernur dari bani Umaiyah) untuk membesuknya. Ubaidillah berkata kepada Ma’qil,: Hai Ma’qil, apakah engkau telah menganggap bahwa saya telah menumpahkan darah yang haram?” saya tidak tahu jawab Ma’qil. Ubaidillah bertanya lagi, “ apakah engkau pernah mengetahuiku intervensi dalam urusan harga dikalangan kaum muslimin? “ saya tidak tahu, jawab Ma’qil, kemudian Ma’qil berkata, “ dudukkanlah saya. Mereka pun mendudukkannya. Ia berkata, wahai Ubaidillah, dengarkanlah ! saya akan menceritakan kepadamu sesuatu yang pernah kudengar dari Rasulullah saw suatu ketika saya mendengar Rasulullah saw bersabda, maka di sampaikannya hadis tersebut. 
Para pelaku monopoli mempermainkan barang yang dibutuhkan oleh umat dan memanfaatkan hartanya untuk membeli barang, kemudian menahannya  sambil menunggu naiknya harga barang itu tanpa memikirkan penderitaan masyarakat karenanya.
Umar bin khatab, pada masa kekhalifahannya sangat mendorong para pedagang untuk mengimpor barang agar terpenuhi kebutuhan pasar umat Islam, sebaliknya sikapnya keras dalam menghadapi para penimbun barang yang buru-buru membeli barang-barang tersebut. Kemudian menimbunnya dari umat Islam, dan mengeluarkan perintahnya untuk melarang para penimbun barang untuk berjual beli di pasar umat Islam.
Diantara perkataan umar dalam hal ini,” barangsiapa yang datang ke tanah kami dengan barang dagangan hendaklah dia menjualnya sebagaimana yang diinginkannya, dia adalah tamuku sampai dia keluar, dia adalah teladan kami, dan janganlah menjual di pasar kami seorang penimbun barang”. Umar juga berkata: “ tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami” dan janganlah dipercaya orang-orang yang ditangannya ada kelebihan harta dari rizki Allah yang turun di tanah kami, maka menimbunnya dari kami, akan tetapi siapa saja yang mengimpor dengan hartanya pada musim dingin dan panas, maka dia adalah tamu Umar, maka silakan dia menjual sebagaimana Allah kehendaki, dan silakan menahan sebagaimana Allah kehendaki.  

c.    Pendapat Ulama Tentang Hukum Ihtikar
Berdasarkan pada ayat-ayat al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang ( haram ). Seluruh ulama sepakat menyatakan bahwa melakukan ihtikar itu hukumnya haram, meskipun terjadi perbedaan pendapat tentang cara menetapkan hukumnya, sesuai dengan sistem pemahaman hukum.
Pertama : ulama Syafi’iyyah, Hanabillah, Malikiyah, Zaidiyah dan Zahiriyyah. Menurut mereka, melakukan ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat dan hadis-hadis yang telah disebutkan. Menurut Malikiyyah, ihtikar hukumnya haram dan harus dapat dicegah oleh pemerintah dengan segala cara, karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara.
Dalam masalah ihtikar yang paling utama yang harus diperhatikan adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak. Sedangkan hak orang yang melakukan ihtikar hanya merupakan hak pribadi. Sekiranya hak pribadi bertentangan dengan hak orang banyak, maka hak orang banyaklah yang harus diutamakan dan didahulukan.
Mazhab Syafiiyah berpendapat , bahwa hadis yang menyatakan ihtikar merupakan suatu pekerjaan yang salah, mengandung pengertian yang dalam. Sebab orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja, berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap ajaran agama, merupakan perbuatan yang diharamkan. Apalagi ancaman dalam hadis itu adalah jadi penghuni  neraka.
Ulama Hanabilah mengatakan, ihtikar merupakan perbuatan yang diharamkan oleh syariat, karena membawa kemudharatan yang besar terhadap masyarakat. Pengharaman terhadap perbuatan ihtikar apabila terdapat tiga unsur, yaitu :
1.    Barang yang ditimbun harus dibeli terlebih dahulu.
2.    Barang yang dibeli merupakan bahan makanan yang dibutuhkan masyarakat.
3.    Adanya kesulitan masyarakat untuk mendapatkan bahan makanan yang dibutuhkan. 
Kedua, Ulama Hanafiyah menyatakan, menurut meraka perbuatan ihtikar hukumnya makruh tahrim ( istilah hukum haram dari kalangan fiqh hanafi yang didasarkan kepada dalil zanni. Dalam persoalan ihtikar, menurut mereka larangan secara tegas hanya muncul dari hadis ahad. Sedangkan kehujjahan hadis ahad adalah zanni. Disamping itu sesuai dengan kaidah yang sifatnya qath’i seseorang bebas membeli dan menual barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah prinadi seseorang. Ulama Hanafiyah tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar, karena menurut mereka dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu : (a) berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai dengan kehendak mereka. (b) adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apapun. Larangan disini tidak langsung tertuju kepada perbuatan ihtikar melainkan larangan itu muncul disebabkan mudharat yang ditimbulkan tindakan itu. 
Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menyatakan bahwa para ulama sepakat mengharamkan ihtikar dengan tiga syarat:
1.    Syarat berlakunya penimbunan adalah keberadaannya sampai batas membuat penduduk negeri itu kesulitan untuk membeli barang yang ditimbun, karena realita penimbunan tidak akan terjadi kecuali di dalam kondisi ini. Seandainya belum sampai menyulitkan penduduk negri untuk membeli barang maka tidak akan terjadi penghimpunan  barang dan tidak terjadi dominasi terhadapnya supaya bisa dijual dengan harga tinggi.
2.    Bahwa barang yang ditimbun adalah kelebihan dari kebutuhannya berikut tanggungan untuk persediaan setahun penuh.
3.    Bahwa orang tersebut menunggu saat-saat memuncaknya harga barang agar ia dapat menjualnya dengan harga yang tinggi karena orang sangat membutuhkan barang tersebut.
Syarat yang dikemukakan Sayid Sabiq tersebut menjelaskan bahwa ihtikar tidak hanya terfokus pada barang yang dibeli. Namun semata menghimpun sembari menunggu harganya melambung sehingga bisa menjualnya dengan harga yang tinggi bisa dinilai sebagai penimbunan, baik penghimpunan barang itu dengan cara membelinya atau mengumpulkannya dari tanah pertanian yang luas karena memonopoli kepemilikan areal produksi jenis tersebut atau kelangkaan pertaniannya; atau menghimpun dari pabrik karena memonopoli kepemilikan industry jenis itu atau karena kelangkaan industri. Semua itu merupakan penimbunan.
Akad membeli barang untuk ditimbun merupakan akad yang secara formal adalah sah karena memenuhi seluruh rukun dan syaratnya. Itu seperti jual beli selama azan shalat jum’at, jual beli formalnya sah , tetapi haram karena adanya larangan tegas tentangnya.  
Babilli menyatakan bahwasanya proses penimbunan bukan hanya mengkorupsi komoditas yang ditimbun namun juga kekayaan yang ditimbun. Korupsi kekayaan, menurut Babilli, adalah menyetop keuntungan dari barang dan menghentikan sirkulasinya, dan akan mengakibatkan tersendatnya distribusi kekayaan.
Menurut Maududi, Larangan terhadap penimbunan barang disamping untuk memberikan pelayanan pada tujuan-tujuan tertentu, ia juga bertujuan untuk mengeliminasi kejahatan black market ( pasar gelap) yang biasanya muncul seiring dengan adanya penimbunan barang.
Penimbunan barang adalah halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Hal tersebut dikarenakan pengaruhnya terhadap jumlah barang yang tersedia dari barang yang ditimbun, dimana beberapa pedagang memilih untuk menahan barang dagangannya dan tidak menjualnya karena menunggu naiknya harga. Prilaku ini mempunyai pengaruh negative dalam fluktuasi kemampuan persediaan dan permintaan barang. Penimbunan dapat menyebabkan pergeseran kurva penawaran dan permintaan , yaitu perbuatan yang melanggar hukum dari penjual.
Dalam tingkat international, menimbun barang merupakan penyebab terbesar dari krisis ekonomi yang di alami  oleh manusia sekarang dimana beberapa Negara kaya dan maju secara ekonomi memonopoli produksi dan perdagangan beberapa kebutuhan makanan dan industry dunia dan lain sebagainya. Bahkan Negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku dari Negara terbelakang ekonominya dan memonopoli penjualan barang-barang industry yang dibutuhkan oleh Negara-negara yang terbelakang ekonominya. Hal tersebut membuat bahaya besar pada keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.


PENUTUP

Ihtikar merupakan suatu upaya seseorang atau lembaga untuk menimbun barang, manfaat atau jasa sehingga menjadi langka di pasaran dan dapat diperkirakan harganya melonjak naik. Perbuatan ihtikar merupakan sebuah penganiayaan terhadap orang lain yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan pribadi. Namun apabila menimbun barang ( komoditi ) manfaat atau jasa tersebut tidak memberi mudharat, dalam artian tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat serta tidak untuk tujuan memonopoli dan meraih keuntungan yang besar, maka hal tersebut tidak di larang.
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ihtikar yang menyebabkan kelangkaan barang dan merusak mekanisme pasar hukumnya haram dan untuk mengatasi hal ini  pemerintah harus  campur tangan untuk mengawasi harga dan pengaturan perantara perdagangan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

 Ibn Manzhur, Lisanul ‘Arab,  Qairo: Dar al Maarif
 Maktabah Syamilah, Al Muntaqiy Syarh Al Muawatta’,
 Maktabah Syamilah, Inayah Syah Hidayah,  ( Fiqh Hanafi )
 Wahbah Zuhaily, Al Fiq al Islamiy wa Adillatuhu,  Damaskus: dar al Fikr, 1985
Fathi ad Duraini, al Fiqh al Islami al Muqarran, Damsyik, ttp,tt
 Abdul Hafiz Farghaliy, al Buyu’ Fi al Islam, Qairo, Darul Mahwah, tt
 Imam Abi al Husainy Muslim Ibn al Hajjaj a Qusyairy an Naisyaburiy, Shahih Muslim, Kairo: Dar al Hadis, 1991
An Nawawi, Syarh Sahih Muslim,  Kairo: 1996
Al hafiz Abi Abdillah Muhamad bin Yusuf al Qazwiniy, Sunan Ibnu Majah, Dar al ihya al Kutub al ‘Arabiah 
      Nailul Authar, Bab Mā Ja a fī al Ihtikār, Juz 8,
Yusuf Qardhawi, Halal Haram dalam Islam. Diterjemah oleh : Wahid ahmadi dkk Surakarta: Era Intermedia, 2003
Jaribah bin Ahmad al Haritsi, al Fiqh al Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar ibn al Khatab, diterjemah oleh Asmuni solihan Zamakhsyari, Jakarta : Khalifa, 2006
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000
Ibnu Qudamah al Maqdisi,  al Mughni, ( Maktabah Syamilah )
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cairo: Juz 3
Yusuf Ahmad Mahmud, Bisnis Islami dan Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis, Penerjemah: Yahya Abdurrahman, Bogor : Al Azhar Press, 2009
Adiwarman a.Karim, Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer, Jakarta : Gema Insani, 2001


  





Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking